Fimela.com, Jakarta Ada hal menarik yang membedakan Gen Z ketika menjalani peran baru sebagai orang tua. Jika generasi sebelumnya cenderung langsung menghubungi orangtua, kakek-nenek, atau kerabat untuk bertanya soal pola asuh, Gen Z justru membuka Google, TikTok, atau forum daring lebih dulu. Fenomena ini disebut sebagai Digital First Parent, yaitu sebuah tren di mana referensi pertama tentang parenting justru datang dari ruang digital, bukan dari lingkaran keluarga terdekat.
Kecepatan akses internet, kecanggihan smartphone, serta melimpahnya konten dalam bentuk video, artikel, hingga podcast membuat Gen Z merasa mampu self-educate dengan cara yang lebih cepat, interaktif, dan personal. Hanya saja, di balik kemudahan itu, muncul risiko baru: banjir informasi yang sulit disaring, tren yang sering kali dangkal, hingga tekanan sosial untuk meniru metode parenting yang sedang viral.
Jejak Digital dalam Praktik Parenting
Bagi orangtua Gen Z, dunia maya adalah ruang belajar sekaligus ruang komparasi. Mereka bisa dengan mudah menemukan video soal tidur bayi di TikTok, membaca artikel tentang stimulasi perkembangan anak di Google, lalu membandingkan metode Montessori dengan pendekatan attachment parenting melalui forum daring. Semua ini memberi mereka kendali penuh untuk memilih jalur pengasuhan yang dianggap paling sesuai.
Misalnya, ada ibu muda yang mencari “cara menidurkan bayi tanpa gendong” di Google. Dalam hitungan detik, ia menemukan artikel berisi teknik sleep training dari berbagai sumber.
Tak lama, algoritma TikTok juga menampilkan video singkat dari orang tua lain yang membagikan pengalaman serupa, lengkap dengan testimoni keberhasilannya. Hasilnya, sang ibu merasa mendapatkan referensi yang konkret dan mudah dipraktikkan.
Hanya saja kendali itu seringkali berisiko. Ketika media sosial menampilkan narasi yang sama, misalnya tentang larangan screen time, disiplin positif, atau pola makan tertentu, orang tua muda bisa merasa bersalah jika cara mereka berbeda. Alih-alih percaya pada intuisi dan mengenal karakter anak sendiri, mereka mudah terdorong mengikuti arus mayoritas.
Antara Inspirasi dan Tekanan Sosial
Fenomena Digital First Parent menghadirkan inspirasi tanpa batas. Ada rasa nyaman ketika tahu bahwa orangtua di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa.
Kita mungkin bisa menemukan kisah sukses ibu bekerja yang tetap menjalani exclusive breastfeeding atau ayah yang membagi pengalaman homeschooling di YouTube.
Hanya saja, inspirasi ini bisa bergeser menjadi tekanan. Contohnya, banyak konten viral tentang baby-led weaning (BLW) yang menampilkan bayi usia 6 bulan bisa makan sendiri dengan lahap.
Tidak sedikit orang tua Gen Z merasa “tertinggal” jika anak mereka masih diberi makanan lumat dengan sendok. Padahal, setiap bayi punya kesiapan yang berbeda.
Algoritma media sosial sering mendorong konten yang populer, bukan yang paling akurat. Akibatnya, banyak orang tua muda terjebak dalam standar dunia maya yang sebenarnya tidak relevan dengan kondisi keluarga mereka.
Mengapa Gen Z Memilih Jalur Digital?
Ada alasan kuat mengapa Gen Z begitu dekat dengan pola Digital First Parent. Mereka lahir dan besar dalam ekosistem digital, terbiasa mengandalkan internet untuk semua aspek hidup, dari pendidikan, hiburan, hingga kesehatan. Jadi, mencari jawaban soal parenting di Google terasa sama naturalnya dengan mencari resep masakan.
Selain itu, ada keinginan kuat dari Gen Z untuk menjadi orang tua yang up-to-date dan tidak terjebak pola lama.
Misalnya, ketika menghadapi bayi yang rewel di malam hari, seorang ayah Gen Z bisa langsung mengetikkan kata kunci “bayi menangis terus malam hari” di mesin pencari, lalu menemukan artikel kesehatan anak.
Dalam hitungan menit, ia merasa lebih tenang karena tahu ada banyak penjelasan logis dan solusi praktis yang bisa dicoba.
Di sisi lain, komunitas digital memberi rasa kebersamaan. Grup Facebook atau Telegram, misalnya, menjadi tempat berbagi pengalaman dan dukungan emosional.
Misalnya saja, seorang ibu membagikan pengalamannya menghadapi anak dengan alergi susu sapi. Melalui grup daring, ia mungkin menemukan tips menu alternatif dari orang tua lain yang mengalami hal serupa. Solidaritas ini menghadirkan rasa tenang bahwa ia tidak sendirian.
Risiko Banjir Informasi
Fenomena Digital First Parent memang membuka banyak peluang, tetapi risiko yang mengintai tidak kecil.
Salah satunya adalah self-diagnose. Banyak orang tua muda yang langsung menyimpulkan anaknya mengalami keterlambatan tumbuh kembang hanya karena membaca artikel atau menonton video tertentu. Padahal, kondisi setiap anak berbeda dan membutuhkan penilaian profesional.
Misalnya, seorang ibu muda mendapati anaknya belum bisa berjalan di usia 14 bulan. Setelah menonton konten TikTok tentang milestone perkembangan anak, ia langsung khawatir dan menyimpulkan bahwa anaknya mengalami gangguan motorik.
Padahal, sebagian besar anak masih dalam batas normal hingga usia 18 bulan. Kekhawatiran ini tidak hanya membebani mental ibu, tetapi juga bisa memengaruhi cara ia memperlakukan anak.
Selain itu, banjir informasi membuat banyak orang tua kewalahan. Setiap hari ada metode baru, istilah asing, dan pendekatan populer yang saling bertabrakan. Akibatnya, alih-alih merasa terbantu, mereka justru diliputi kebingungan dan keraguan terhadap cara sendiri.
Menemukan Keseimbangan Digital dan Realitas
Kekuatan Gen Z sebagai Digital First Parent sebenarnya terletak pada kemampuan mereka beradaptasi dengan informasi baru.
Bagaimana pun juga, keseimbangan tetap perlu dijaga. Dunia maya sebaiknya menjadi sumber inspirasi, bukan satu-satunya rujukan.
Kita bisa menjadikan teori dari internet sebagai bahan pertimbangan, lalu menyesuaikannya dengan karakter anak, kondisi keluarga, dan nilai yang dianut.
Misalnya, metode BLW yang viral mungkin terasa menarik, tetapi jika anak belum siap secara fisik, orang tua bisa menunda dan mengombinasikannya dengan cara lain.
Selain itu, mengandalkan intuisi tetap penting. Ilmu digital memang berharga, tetapi kepekaan terhadap kebutuhan emosional anak hanya bisa tumbuh dari kedekatan sehari-hari, bukan dari algoritma TikTok.
Tips agar Tidak Terjebak Informasi yang Salah
Untuk menjaga kewarasan di tengah derasnya arus konten, berikut beberapa cara yang bisa diterapkan:
1. Kroscek dari Sumber Kredibel
Jangan berhenti pada satu video atau artikel. Bandingkan informasi dengan jurnal medis, situs resmi kesehatan, atau pendapat profesional.
2. Hindari Self-Diagnose
Jika menemukan gejala pada anak, jadikan informasi digital sebagai referensi awal saja. Langkah final tetaplah berkonsultasi dengan dokter atau tenaga ahli.
3. Seleksi Berdasarkan Nilai Keluarga
Tidak semua tren cocok untuk semua keluarga. Pilih metode yang sejalan dengan kondisi rumah tangga dan prinsip hidup yang dianut.
4. Berani Menyaring Konten
Gunakan fitur mute atau unfollow jika merasa tertekan dengan konten tertentu. Lingkungan digital yang sehat akan lebih membantu perjalanan parenting.
5. Prioritaskan Interaksi Nyata
Luangkan waktu untuk membaca bahasa tubuh anak, bukan hanya membaca komentar di forum. Koneksi emosional nyata jauh lebih bernilai daripada validasi digital.
Fenomena Digital First Parent mungkin hanya awal dari babak baru dalam dunia pengasuhan.
Ke depan, teknologi seperti kecerdasan buatan atau aplikasi personalisasi parenting bisa jadi semakin berperan. Akan tetapi, tantangan utamanya tetap sama: bagaimana agar orang tua tidak kehilangan autentisitas di balik semua kemajuan.
Sahabat Fimela, parenting bukan tentang mengikuti tren terbaru, melainkan tentang menciptakan ruang aman, penuh kasih, dan konsisten bagi anak. Teknologi hanyalah alat. Keputusan terbesar tetap ada di tangan orang tua yang mengenal anak mereka lebih baik daripada algoritma mana pun.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.