Kenali Defisiensi Zat Besi pada Anak dan Dampaknya pada Si Kecil

2 weeks ago 18

ringkasan

  • Defisiensi zat besi pada anak, terutama usia 1-3 tahun, merupakan masalah kesehatan signifikan yang memengaruhi jutaan anak dan dapat menghambat perkembangan kognitif, motorik, serta sosial-emosional mereka.
  • Kekurangan zat besi, bahkan tanpa anemia, dapat menyebabkan dampak jangka panjang yang merugikan pada fungsi otak, termasuk gangguan belajar dan penurunan prestasi akademik, karena perannya penting dalam metabolisme.
  • Pencegahan melalui diet kaya zat besi, skrining rutin, dan suplementasi yang tepat sangat krusial untuk mendeteksi serta mengatasi defisiensi zat besi sejak dini, demi mendukung tumbuh kembang optimal anak.

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, tahukah Anda bahwa defisiensi zat besi pada anak adalah isu kesehatan serius yang sering luput dari perhatian? Kondisi ini menjadi perbincangan hangat karena dapat memengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Potensinya menghambat perkembangan kognitif, motorik, serta sosial-emosional si kecil sangatlah besar.

Siapa saja yang rentan terhadap kondisi ini? Anak-anak usia 1 hingga 3 tahun adalah kelompok yang paling berisiko. Pada fase pertumbuhan pesat ini, cadangan zat besi dari ibu mulai menipis, membuat mereka lebih mudah kekurangan nutrisi penting.

Lalu, bagaimana defisiensi zat besi ini dapat memengaruhi mereka secara langsung? Kekurangan zat besi dapat menyebabkan berbagai gejala fisik dan dampak jangka panjang pada perilaku serta kemampuan belajar anak. Dilansir dari berbagai sumber, yuk kita pahami hal ini krusial agar kita dapat memberikan intervensi yang tepat waktu.

Prevalensi dan Kelompok Rentan Defisiensi Zat Besi pada Anak

Defisiensi zat besi bukan masalah sepele, Sahabat Fimela. Di Amerika Serikat saja, kondisi ini memengaruhi sekitar 2,4 juta anak-anak. Bahkan, anemia defisiensi zat besi (IDA) dialami oleh 490.000 anak, menunjukkan skala masalah yang signifikan.

Anak-anak berusia 1 hingga 3 tahun merupakan kelompok yang paling rentan terhadap defisiensi zat besi. Ini karena cadangan zat besi yang mereka dapatkan dari ibu saat lahir akan menipis seiring pertumbuhan cepat di usia tersebut. Prevalensi defisiensi zat besi dan anemia cenderung lebih tinggi pada anak usia 1-2 tahun dibandingkan 3-5 tahun.

Faktor ras dan etnis juga menunjukkan perbedaan yang mencolok. Prevalensi defisiensi zat besi lebih tinggi pada anak-anak Hispanik (12%) dibandingkan anak kulit putih (6%) dan kulit hitam (6%). Anak-anak Hispanik memiliki risiko lebih tinggi karena kemungkinan kelebihan berat badan dan tidak berada di tempat penitipan anak.

Menariknya, berat badan juga berperan dalam risiko defisiensi zat besi. Balita yang kelebihan berat badan memiliki prevalensi defisiensi zat besi sebesar 20%, jauh lebih tinggi dari balita dengan berat badan normal (7%). Data menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi zat besi dan anemia pada anak usia 1-5 tahun di AS relatif stabil selama dekade terakhir, sekitar 7,1% untuk defisiensi zat besi.

Dampak Jangka Panjang Defisiensi Zat Besi yang Merugikan

Mengapa defisiensi zat besi pada anak menjadi perbincangan serius? Alasannya adalah dampak jangka panjang yang merugikan. Kondisi ini dikaitkan dengan keterlambatan perilaku dan kognitif, seperti kesulitan belajar dan penurunan prestasi sekolah. Efek ini, Sahabat Fimela, dapat bersifat permanen dan berpotensi tidak dapat diubah jika tidak ditangani segera.

Zat besi memainkan peran vital dalam fungsi otak, pertumbuhan, dan perkembangan yang optimal. Nutrisi ini membantu sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh dan mendukung otot dalam menyimpan serta menggunakan oksigen.

Bahkan, defisiensi zat besi tanpa disertai anemia pun dapat memengaruhi perkembangan saraf dan perilaku anak secara negatif. Ini menunjukkan bahwa sekecil apapun kekurangan zat besi, dampaknya bisa sangat signifikan.

Kekurangan zat besi dapat mengganggu metabolisme dan neurotransmisi di otak. Hal ini bisa mengurangi koneksi antar sel saraf dan merusak mielin, lapisan lemak penting yang mengelilingi serabut saraf, sehingga memengaruhi fungsi otak secara keseluruhan.

Mengenali Gejala dan Penyebab Defisiensi Zat Besi pada Anak

Defisiensi zat besi dapat menunjukkan dirinya melalui berbagai gejala fisik yang perlu Sahabat Fimela waspadai. Mengenali tanda-tanda ini sejak dini adalah kunci untuk penanganan yang efektif. Berikut beberapa gejala fisik umum yang bisa diamati:

  • Kelelahan dan kurang energi: Anak mudah lelah dan lesu.
  • Kulit pucat: Terutama pada bibir, tangan, atau di bawah kelopak mata.
  • Detak jantung cepat: Peningkatan detak jantung yang tidak biasa.
  • Sesak napas: Terutama saat beraktivitas fisik.
  • Pica: Keinginan untuk makan zat aneh seperti tanah atau es.
  • Kuku rapuh: Atau kuku berbentuk sendok (koilonychia).
  • Sakit kepala dan pusing: Keluhan yang sering muncul.

Selain gejala fisik, defisiensi zat besi juga berdampak pada perkembangan dan perilaku anak. Anak mungkin menunjukkan fungsi kognitif yang lebih rendah, gangguan memori, dan defisit perhatian, bahkan skor IQ yang lebih rendah. Risiko masalah perilaku seperti iritabilitas, kecemasan, depresi, dan ADHD juga meningkat pada anak yang kekurangan zat besi.

Lalu, apa saja penyebab utama defisiensi zat besi pada anak? Memahami faktor-faktor ini akan membantu kita dalam upaya pencegahan. Berikut beberapa penyebab defisiensi zat besi:

  • Diet rendah zat besi: Asupan nutrisi yang tidak memadai dari makanan.
  • Pertumbuhan cepat: Kebutuhan zat besi meningkat pesat pada bayi dan remaja.
  • Konsumsi susu sapi berlebihan: Susu sapi dapat menghambat penyerapan zat besi.
  • Kelainan saluran pencernaan: Seperti penyakit celiac atau Crohn.
  • Kehilangan darah: Misalnya pendarahan gastrointestinal atau menstruasi berat pada remaja putri.
  • Anemia prenatal ibu: Cadangan zat besi bayi yang rendah sejak lahir.
  • Menyusui eksklusif tanpa suplementasi: Setelah 6 bulan tanpa makanan kaya zat besi.

Pencegahan dan Deteksi Dini untuk Masa Depan Optimal

Pencegahan dan deteksi dini adalah kunci, Sahabat Fimela, untuk memastikan anak terhindar dari dampak buruk defisiensi zat besi. American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining rutin untuk anemia defisiensi zat besi pada semua bayi antara usia 9 dan 12 bulan. Anak-anak dengan faktor risiko juga harus diskrining kembali di usia selanjutnya.

Menyajikan makanan kaya zat besi pada waktu makan dan camilan sangat penting. Sumber zat besi heme yang mudah diserap tubuh antara lain daging merah, unggas, dan ikan. Sementara itu, sumber zat besi non-heme dari sayuran hijau gelap, kacang-kacangan, dan sereal yang difortifikasi juga penting, terutama jika dikonsumsi bersama vitamin C.

Bagi bayi yang hanya disusui, suplementasi zat besi mungkin diperlukan mulai usia 4 bulan. Tergantung pada hasil tes, dokter mungkin akan merekomendasikan suplemen zat besi oral atau multivitamin harian. Selalu konsultasikan dengan dokter anak sebelum memberikan suplemen.

Diagnosis dan pengobatan dini defisiensi zat besi pada masa kanak-kanak dapat mencegah efek jangka panjang yang negatif. Ini juga akan mendorong perkembangan fisik dan kognitif yang optimal, membantu si kecil tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan sehat.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Adinda Tri Wardhani

    Author

    Adinda Tri Wardhani
  • Adinda Tri Wardhani

    Editor

    Adinda Tri Wardhani
Read Entire Article
Parenting |