Mengenal Tren Bayi Karnivora: Pola Makan Viral yang Menuai Pro dan Kontra

5 days ago 10

Fimela.com, Jakarta Beberapa waktu terakhir, dunia parenting dihebohkan oleh tren yang tak biasa: “carnivore babies” atau bayi karnivora. Video di TikTok dan YouTube memperlihatkan bayi yang tampak lahap mengunyah potongan daging steak, menyeruput kaldu tulang beku, atau bahkan menelan kuning telur mentah. Para orang tua yang menerapkannya percaya bahwa pola makan ini membuat bayi lebih kuat, tidur lebih nyenyak, dan jarang rewel.

Fenomena ini, seperti yang dikutip dari laman mother.ly, mencuat setelah The Wall Street Journal menyorot para orangtua yang memilih memberi bayi mereka makanan serba hewani. Mereka menganggap daging, telur, dan produk hewani lebih “alami” daripada bubur instan, pure buah kemasan, atau makanan bayi yang mengandung gula tambahan. Bagi sebagian orangtua, pola makan seperti ini tampak seperti jalan pintas menuju gaya hidup sehat dan “murni”.

Hanya saja, di balik daya tarik visualnya yang viral, para dokter anak dan ahli gizi justru melihat bahaya tersembunyi. Mereka mengingatkan bahwa tubuh bayi sedang dalam masa pertumbuhan cepat, dan pada masa inilah keberagaman nutrisi menjadi kunci utama, bukan pembatasan ekstrem.

Mengapa Banyak Orangtua Tergoda Mencoba?

Tidak bisa dimungkiri, banyak Moms merasa kewalahan menghadapi pilihan makanan bayi di pasaran. Di rak toko, deretan MPASI kemasan tampak praktis tetapi sering kali sarat gula, garam, dan bahan tambahan lain. Di sisi lain, muncul influencer yang mempromosikan diet “kembali ke akar”, yang mengklaim bahwa manusia sejatinya makhluk pemakan daging, termasuk sejak bayi.

Tren “bayi karnivora” berkembang karena tiga hal utama. Pertama, kekhawatiran terhadap makanan olahan. Banyak orang tua ingin memberi yang paling alami bagi anaknya, dan daging segar terlihat seperti simbol kemurnian itu.

Kedua, pengaruh media sosial. Video bayi yang tampak tenang sambil mengisap tulang kaldu membuat banyak Moms berpikir, “Mungkin ini rahasia bayi tidak rewel.”

Ketiga, kesederhanaan konsep. Hanya dengan daging dan telur, urusan MPASI terasa lebih mudah tanpa perlu mempersiapkan menu rumit setiap hari.

Padahal, kesederhanaan ini justru bisa menipu. Karena semakin sedikit jenis makanan yang dikonsumsi, semakin besar risiko bayi kekurangan zat penting yang tidak terdapat pada bahan hewani.

Risiko Nutrisi yang Kerap Diabaikan

Daging memang kaya akan zat besi, protein, dan zinc, yaitu tiga unsur yang sangat dibutuhkan bayi. Tapi jika makanan bayi hanya berfokus pada sumber hewani, ada banyak nutrisi lain yang hilang.

Vitamin C, misalnya, nyaris tidak ada dalam daging. Padahal, vitamin ini sangat penting untuk pembentukan jaringan tubuh, penyerapan zat besi, dan daya tahan. Tanpa vitamin C, bayi berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan sistem imun yang lemah.

Selain itu, serat, yang ada dalam tumbuhan, memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan mikrobioma usus. Kekurangannya dapat memicu sembelit dan gangguan pencernaan sejak dini.

Profesor Steven Abrams dari Dell Medical School menegaskan bahwa kebiasaan makan di masa bayi menentukan pola makan anak di masa depan. Bayi yang dibiasakan dengan menu terbatas akan lebih sulit menerima makanan beragam saat besar nanti.

Jadi, Moms, bukan hanya gizi jangka pendek yang dipertaruhkan, tapi juga kebiasaan makan sehat anak di masa depan.

Pentingnya Pola Makan yang Sehat dan Seimbang untuk Anak

Tren “bayi karnivora” tidak berdiri sendiri. Tren ini muncul bersamaan dengan budaya baru yang menyanjung protein-first lifestyle, yaitu gaya hidup yang menempatkan protein sebagai jawaban untuk semua masalah kesehatan.

Di internet, kita disuguhi berbagai konten: resep muffin tinggi protein, susu bayi untuk otot, hingga video anak yang “super kuat” karena makan daging setiap hari.

Hanya saja, media sosial hanya menampilkan sisi yang manis dan viral. Tidak ada yang menunjukkan risiko jangka panjangnya. Tidak ada yang menceritakan kemungkinan kekurangan vitamin, atau bagaimana sistem pencernaan bayi beradaptasi terhadap pola makan ekstrem.

Faktanya, penelitian global menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapat beragam makanan, terutama dari buah, sayur, dan biji-bijian, memiliki kesehatan pencernaan, imunitas, dan perkembangan otak yang lebih baik. Tubuh bayi pada dasarnya butuh keseimbangan.

Cara Bijak Membangun Pola Makan Sehat untuk Bayi

Sebagai orang tua, keinginan untuk memberi yang terbaik sangat manusiawi. Hanya saja, langkah bijak bukan berarti mengikuti apa yang sedang ramai, melainkan memahami dasar ilmiah di baliknya.

Panduan dari American Academy of Pediatrics (AAP) menegaskan bahwa bayi sebaiknya mulai dikenalkan pada makanan padat sekitar usia enam bulan, dengan variasi rasa, warna, dan tekstur. Tujuannya adalah agar anak terbiasa menerima banyak jenis makanan sejak dini, bukan hanya untuk gizi, tapi juga untuk menumbuhkan pola makan yang sehat dan fleksibel.

Jika Moms tetap ingin menonjolkan unsur daging, tidak masalah. Hanya saja, pastikan tetap ada keseimbangan: tambahkan buah yang kaya vitamin C seperti pepaya atau jeruk, sayur lembut seperti wortel kukus, dan sumber karbohidrat sehat seperti kentang atau nasi merah. Kombinasi ini membantu tubuh bayi menyerap zat besi dengan lebih baik dan menjaga sistem pencernaan tetap sehat.

Dan yang terpenting, selalu konsultasikan dengan dokter anak atau ahli gizi sebelum mengubah pola makan bayi secara signifikan. Mereka dapat membantu menilai apakah anak mendapatkan semua zat gizi yang dibutuhkan, serta memantau pertumbuhannya dengan lebih akurat.

Tanggung Jawab dan Kasih Sayang Juga Tetap Perlu Diperhatikan

Fenomena “bayi karnivora” mencerminkan satu hal penting: orangtua masa kini haus akan kepastian dan kesederhanaan di tengah lautan informasi yang membingungkan.

Kita ingin percaya bahwa ada jalan mudah menuju pola makan ideal. Tapi sayangnya, tidak ada satu pendekatan tunggal yang cocok untuk semua bayi.

Daging bisa menjadi bagian penting dari menu bayi, tapi bukan satu-satunya bintang utama. Tubuh kecil mereka membutuhkan harmoni antar-nutrisi, antara zat besi dari daging, vitamin C dari buah, serat dari sayur, dan energi dari karbohidrat. Semua bekerja bersama untuk mendukung tumbuh kembang optimal.

Moms, kasih sayang sejati tidak diukur dari seberapa “natural” atau “unik” pola makan anak, tapi dari kesediaan kita untuk belajar, menimbang, dan menyesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Di era tren yang berganti cepat, keputusan yang paling bijak sering kali adalah yang paling sederhana: memberi makanan beragam, penuh warna, dan penuh cinta.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Parenting |