TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/1081/IV/OPS.1.3./2025 yang memberikan instruksi bagi seluruh jajaran Kepolisian Daerah dan Kepolisian Resor untuk menindak tegas aksi premanisme.
Meski begitu, upaya kepolisian lewat operasi melawan preman tersebut tetap menimbulkan kekhawatiran. Salah satunya adalah kekhawatiran penggunaan metode-metode di luar hukum untuk menindak para preman, seperti yang pernah dilakukan di masa Orde Baru lewat Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) atau dikenal dengan sebutan Penembak Misterius (Petrus).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan mengungkapkan, pola-pola penegakan di luar hukum yang dilakukan oleh kepolisian juga sempat terjadi jelang pelaksanaan Asian Games 2018. Kala itu Kapolda Metro Jaya Idham Aziz mengerahkan seribu anggota kepolisian untuk memburu dan menembak para begal serta penjahat jalanan.
“Itu mati orang, ada beberapa orang mati,” kata Fadhil ketika dihubungi oleh Tempo lewat sambungan telepon pada Selasa, 13 Mei 2025. Dalam peristiwa itu setidaknya 15 orang tewas ditembak di bagian badan dan 41 orang lumpuh ditembak dibagian kaki. Selain itu, kurang lebih 2000 orang telah ditangkap, 320 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dengan berbagai tuduhan kejahatan.
Dengan adanya riwayat extrajudicial killing yang dilakukan oleh kepolisian membuat kekhawatiran kembalinya Petrus semakin meningkat. “Kalau dibilang apakah (operasi antipremanisme) ini menimbulkan kekhawatiran kayak Petrus, iya. 2018 saja pernah kok digunakan (metodenya),” tutur Fadhil menambahkan.
Terlebih lagi, hingga saat ini belum ada definisi yang tegas dari kepolisian soal tindakan-tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai aksi premanisme. Tidak adanya batasan yang jelas tersebut membuka peluang bagi perluasan makna dan penafsiran sewenang-wenang soal aksi premanisme.
“Sangat mungkin ini menyebar kemana-mana (pemaknaannya),” ujar Fadhil. “Karena kita gak pernah percaya polisi melakukan penegakan hukum secara objektif, apalagi ada anasir-anasir politik di dalamnya yang kental,” lanjutnya.
Fadhil menyarankan bilamana pemerintah ingin serius untuk memberantas aksi premanisme, maka diperlukan dasar hukum yang jelas untuk pelaksanaannya. Dia kemudian mencontohkan dengan produk hukum di Amerika Serikat, yaitu Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (RICO) Law. “Kalau mau serius ya begitu (dibuat dasar hukumnya),” kata Fadhil.
Dia juga ingin pemerintah dan kepolisian untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan yang berlebihan atau excessive power yang dapat menimbulkan extrajudicial killing. “Jangan sampai pendekatan yang digunakan pendekatan yang justru kontra produktif, orang jadi dibunuh dan lain sebagainya,” ucap Fadhil.