Fimela.com, Jakarta Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) menggelar seminar secara daring pada Senin, 18 April 2025. Seminar ini diselenggarakan guna memperingati 18 tahun dedikasinya dalam mendukung hak ibu menyusui di Indonesia. Seminar ini mengangkat tema “Sebuah Refleksi 18 Tahun AIMI Terkait Kebijakan Perlindungan Menyusui di Indonesia” dengan tiga narasumber yang memiliki rekam jejak panjang dalam mendorong perlindungan ibu menyusui di Indonesia, di antaranya: Irma Hidayana, Ph.D., Mia Sutanto, dan Lianita Prawindarti.
Seminar ini dilatarbelakangi atas refleksi angka dan capaian ibu menyusui di Indonesia. Berkaca dari rangkaian permasalahan yang ada, tantangan terkait pemberian ASI eksklusif di Indonesia baik dari segi kebijakan maupun implementasinya masih terus bermunculan.
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) adalah organisasi nirlaba berbasis kelompok sesama ibu menyusui dengan tujuan menyebarluaskan pengetahuan dan informasi tentan menyusui serta meningkatkan angka ibu menyusui di Indonesia. Berbagai kegiatan telah dilakukan AIMI untuk menyosialisasikan menyusui, antara lain kegiatan reguler yang dilakukan secara daring yaitu SELAMI; Sesi Online AIMI yang mengajak masyarakat untuk mempersiapkan diri memulai masa menyusui serta MPASI.
Permasalahan Pemberian ASI Eksklusif dan Susu Formula di Indonesia
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan khusus bagi bayi, terutama bayi berusia 0–6 bulan, yang tidak dapat digantikan oleh makanan atau minuman lainnya. Pemberian ASI pada bayi di usia 0–6 bulan disebut juga pemberian sebagai ASI eksklusif. Anak yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki peluang lebih tinggi untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal dan tidak mudah sakit. Menyusui juga mempererat ikatan emosional antara ibu dan anak; membentuk ketahanan pribadi; serta kemandirian anak di masa depan.
Di samping memberikan ASI, memberikan susu formula pada bayi berusia 0–6 bulan menjadi sebuah tren yang terus meningkat di Indonesia. Bahkan, tren ini menunjukkan lonjakkan angka yang signifikan per tahun 2025. Per tahun 2025, volume penjualan susu formula di Indonesia hampir mencapai 5 miliar dolar Amerika. Angka ini tentu perlu menjadi sorotan sebab di balik angka yang tinggi, terdapat faktor yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terkati praktik etik dan regulasi pemasaran susu formula. Selain itu, implementasi regulasi mengenai hak ibu menyusui juga berpengaruh pada tingginya angka pembelian susu formula di Indonesia.
WHO dalam laporannya pada Agustus 2023 juga mencatat bahwa Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam pemberian ASI pada jam pertama kehidupan bayi. Hanya 48,6% bayi yang disusui dalam satu jam pertama setelah kelahiran pada tahun 2021, turun dari 58,2% pada 2018 (WHO Indonesia, 2023). Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas kelangsungan hidup bayi serta meningkatkan risiko infeksi dan penyakit.
Praktik Etik Pemasaran Susu Formula di Indonesia
Beriringan dengan berkembangnya media sosial, produsen susu formula kini mengembangkan metode pemasarannya dengan memanfaatkan platform media sosial sebagai media promosi. Umumnya, mereka akan memanfaatkan public figure, seperti influencer, mom-fluencers, bahkan hingga tenaga kesehatan untuk membangun citra positif produk. Salah satu metode pemasaran yang banyak dilakukan adalah metode soft selling. Praktik soft selling inilah yang dapat diindikasikan sebagai praktik pemasaran yang melanggar etik karena mengeksploitasi emosi ibu menyusui.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, AIMI dan tim mendirikan Pelanggaran Kode sebagai upaya menyelesaikan masalah praktik pelanggaran etik oleh produsen susu formula. Pelanggaran Kode didirikan pada akhir 2020 dan secara efektif diluncurkan pada pertengahan Mei 2021. Pelanggaran Kode dikelola secara kolektif oleh Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), dan Ayah ASI serta didukung oleh UNICEF Indonesia dan Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA).
“Pelanggaran terhadap kode pemasaran susu formula terus menghambat implementasi kebijakan perlindungan menyusui. Produsen susu formula makin eksploitatif memengaruhi ibu, para nakes, dan masyarakat luas melalui berbagai cara, seperti menggunakan influencer, mom-fluencers, dan bekerja sama dengan asosiasi tenaga kesehatan, untuk membangun citra positif produk susu formula. Pelanggaarankode.org berperan penting dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran ini untuk melindungi hak menyusui-disusui bagi ibu dan bayi.” jelas Irma Hidayana selaku founder pelanggarankode.org.
Kompleksitas di atas tentu tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Selain organisasi masyarakat, perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk mengatasi penurunan angka menyusui di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya dorongan dan tekanan kepada pemerintah agar menjalankan regulasi yang ada serta menindaklanjuti pelanggaran etik yang dilakukan oleh produsen susu formula.
Peran AIMI dalam Meningkatkan Angka Menyusui di Indonesia
AIMI telah berperan dalam mengedukasi masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya ASI eksklusif. Sejak berdiri, AIMI telah memberikan berbagai layanan, seperti kelas edukasi menyusui, konseling laktasi, dan kampanye penyuluhan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan kesadaran publik dan menciptakan support system bagi ibu menyusui. Selain itu, AIMI juga telah mendorong berbagai kebijakan yang memberikan perlindungan ibu menyusui; serta menjadi bagian dari HAM yang perlu dipenuhi oleh negara seperti penyediaan ruang menyusui di tempat kerja dan fasilitas umum.
“Perkembangan tren promosi susu formula yang tidak etis semakin mengganggu usaha kami dalam mempromosikan pemberian ASI. AIMI berkomitmen untuk terus mendukung ibu menyusui dengan memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung ibu menyusui dan membatasi praktik pemasaran susu formula.” tandas Lianita Prawindarti, Sekjen AIMI Pusat.
Rekomendasi AIMI untuk Meningkatkan Perlindungan Ibu Menyusui di Indonesia
Berdasarkan refleksi 18 tahun, berikut adalah beberapa rekomendasi langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan ibu menyusui di Indonesia:
1. Peningkatan Implementasi Kebijakan
AIMI mendesak pemerintah untuk memperkuat implementasi kebijakan ASI eksklusif, baik di tempat kerja maupun fasilitas umum, dengan pengawasan yang lebih ketat. Secara spesifik, AIMI mendesak UU KIA 2024 yang mengatur cuti melahirkan 6 bulan selama masa pemberian ASI eksklusif harus bisa dirasakan penuh oleh seluruh ibu tanpa syarat. Selain itu, cuti ayah bagi pasutri yang baru memiliki bayi juga harus dipenuhi karena peran ayah dalam mendukung ibu menyusui dan pengasuhan bayi sangat penting. Dukungan dari suami dan keluarga, terutama dalam membantu ibu menyusui, perlu diakui dan diprioritaskan dalam kebijakan perlindungan ibu dan anak.
2. Penyediaan Fasilitas Menyusui yang Memadai
Pemerintah harus menyediakan fasilitas menyusui yang memadai di tempat tempat umum serta mendorong tempat kerja dan pihak swasta untuk menyediakan fasilitas menyusui yang bagi ibu menyusui.
3. Peningkatan Kompetensi Tenaga Kesehatan
Dibutuhkan peningkatan kapasitas terhadap kompetensi baik tenaga kesehatan maupun kader kesehatan mengenai manajemen laktasi agar dapat memberikan dukungan yang efektif dan optimal terhadap ibu menyusui.
4. Kampanye yang Lebih Luas
Dibutuhkan kampanye yang luas dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya ASI eksklusif. Kampanye ini termasuk juga penyebarluasan informasi mengenai poin-poin terkait Pelanggaran Kode Internasional pemasaran produk pengganti ASI sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan perhatian lebih.
“Keberhasilan menyusui adalah upaya bersama yang melibatkan keluarga, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan pemerintah. Kami percaya bahwa melalui kerjasama ini, kita dapat mencapai Indonesia yang lebih ramah bagi ibu menyusui, di mana setiap ibu dan anak mendapatkan haknya untuk menyusui dengan optimal.” Nia Umar, Ketua Umum AIMI.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.