Periset Temukan Sistem AI Bisa Membentuk Komunitas Saat Ditinggal Sendirian, Mekanismenya?

5 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Ketika dibiarkan saling berinteraksi tanpa campur tangan manusia, sistem kecerdasan buatan alias AI ternyata mampu menciptakan semacam komunitas sosial yang memiliki bahasa dan norma tersendiri. Temuan ini diungkapkan oleh tim peneliti dari City St George’s dalam sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Science Advances.

Dilansir dari Independent Penelitian tersebut mengamati bagaimana model bahasa besar (large language models/LLM) seperti yang mendasari ChatGPT berinteraksi satu sama lain ketika dimasukkan dalam kelompok. Hasilnya, para periset menemukan bahwa model-model AI ini secara spontan mampu menyusun konvensi linguistik baru, mirip seperti bagaimana manusia membentuk norma sosial dalam komunitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sebagian besar penelitian selama ini memperlakukan model bahasa besar secara terpisah,” kata Ariel Flint Ashery, penulis utama sekaligus peneliti doktoral di City St George’s.

“Namun dalam dunia nyata, sistem AI akan semakin sering terdiri dari banyak agen yang saling berinteraksi. Kami ingin tahu: bisakah model-model ini menyelaraskan perilaku mereka dengan membentuk konvensi bersama? Jawabannya, ya, dan apa yang mereka lakukan bersama tidak bisa direduksi menjadi apa yang mereka lakukan sendiri.”

AI dan "Permainan Penamaan"

Untuk memahami proses pembentukan komunitas ini, para peneliti menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam studi perilaku manusia, yakni naming game atau permainan penamaan. Dalam simulasi tersebut, para agen AI diminta untuk memilih sebuah “nama” dari beberapa opsi, dan akan mendapat penghargaan jika mereka memilih nama yang sama.

Seiring waktu, para agen ini membangun sistem penamaan bersama yang muncul secara spontan dari interaksi kelompok tanpa koordinasi terpusat atau perencanaan sebelumnya. Proses ini sangat menyerupai pembentukan norma dalam budaya manusia yang biasanya terjadi dari bawah ke atas (bottom-up).

Tak hanya itu, dalam komunitas kecil tersebut, para agen AI juga menunjukkan kecenderungan untuk membentuk bias kolektif. Yang mengejutkan, bias ini tidak berasal dari satu agen secara khusus, tetapi justru muncul dari interaksi mereka sebagai kelompok.

“Bias tidak selalu datang dari dalam,” ujar Andrea Baronchelli, Profesor Ilmu Kompleksitas di City St George’s dan penulis senior studi ini. “Kami terkejut melihat bahwa bias bisa muncul di antara agen hanya dari pola interaksi mereka. Ini merupakan titik buta dalam banyak penelitian keamanan AI saat ini, yang biasanya hanya fokus pada model individu.”

AI Bisa Mempengaruhi AI Lain

Penelitian juga menunjukkan bahwa sekelompok kecil agen AI dapat mendorong kelompok yang lebih besar untuk mengikuti konvensi tertentu. Fenomena ini juga lazim terjadi dalam kelompok manusia, di mana minoritas bisa menjadi pelopor perubahan norma dalam komunitas.

Para peneliti percaya bahwa temuan ini penting untuk memahami bagaimana AI dan manusia memiliki kesamaan maupun perbedaan dalam membangun interaksi sosial. Hal ini menjadi krusial karena AI kini makin mendominasi ruang digital dan bisa saja saling berkomunikasi atau berkolaborasi secara mandiri, tanpa pengawasan manusia.

“Studi ini membuka pengetahuan baru dalam penelitian keamanan AI,” jelas Baronchelli dikutip dari Neurosciencenews. “Temuan ini menunjukkan betapa mendalamnya implikasi dari spesies agen baru yang telah mulai berinteraksi dengan kita dan akan ikut membentuk masa depan kita.”

Menurutnya, memahami cara kerja AI ini sangat penting agar manusia bisa hidup berdampingan dengan sistem tersebut, bukan menjadi korban dari perkembangannya. “Kita sedang memasuki dunia di mana AI tidak hanya berbicara tapi juga bernegosiasi, menyelaraskan perilaku, bahkan berselisih satu sama lain, layaknya manusia,” pungkas Baronchelli.

Read Entire Article
Parenting |