PRESIDEN Prabowo Subianto menggelar sesi wawancara bersama tujuh jurnalis, enam di antaranya pemimpin redaksi, dari tujuh media berbeda pada Ahad, 6 April 2025. Wawancara di rumah Prabowo di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu berlangsung selama tiga jam.
Dalam wawancara tersebut, Prabowo menjawab sejumlah pertanyaan berkaitan dengan isu terkini. “Hari ini saya berkesempatan wawancara bersama 7 jurnalis dari 7 media yang ada di tanah air,” tulis Prabowo dalam akun Instagram yang dikutip pada Ahad.
Wawancara secara terbatas dengan beberapa jurnalis itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, dari pengamat kebijakan publik dan petinggi partai politik.
TII: Prabowo Sebaiknya Wawancara Inklusif, Bukan Terbatas
Menanggapi wawancara Prabowo itu, pengamat kebijakan publik The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, mengatakan Presiden Prabowo Subianto sebaiknya melakukan wawancara secara lebih inklusif, bukan terbatas.
“Wawancara seperti ini memang memberi ruang bagi Presiden untuk menjelaskan posisinya, tetapi sayangnya hanya dilakukan di lingkaran terbatas. Belum ada partisipasi publik secara luas yang dilibatkan dalam proses komunikasi ini,” kata Felia dalam keterangannya yang diterima pada Selasa, 8 April 2025, seperti dikutip dari Antara.
Felia mengatakan wawancara tersebut menjadi momen penting menyampaikan pandangan dan kebijakan ke publik. Dia menilai format wawancara tersebut belum cukup inklusif karena hanya melibatkan elite media.
Menurut dia, keterbukaan dalam komunikasi pemerintah menjadi penting, terutama dalam situasi di mana kebijakan-kebijakan yang diambil sedang menuai kritik dan pertanyaan publik. Dia mencontohkan pernyataan Prabowo soal Undang-Undang TNI yang dinilai belum mencerminkan pemahaman mendalam terhadap substansi persoalan.
“Wawancara ini seharusnya menjadi jembatan untuk mendengarkan, bukan sekadar menyampaikan. Formatnya perlu lebih terbuka dan melibatkan ragam perspektif, termasuk dari masyarakat sipil dan kelompok yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Felia menyebutkan komunikasi publik idealnya dibangun di atas prinsip inklusivitas, partisipasi, dan transparansi. Dia berharap, di masa datang, Prabowo membuka lebih banyak ruang dialog dengan masyarakat, bukan hanya dengan media arus utama. “Kepercayaan publik tidak bisa dibangun lewat klarifikasi satu arah saja. Butuh ruang diskusi yang hidup, terbuka, dan mendengar,” kata dia.
PSI Nilai Prabowo Tidak Antikritik
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi Presiden Prabowo yang bersedia diwawancarai tujuh jurnalis dan menyebutkan Prabowo sebagai sosok berjiwa besar yang tidak antikritik.
“Kita menyaksikan kebesaran jiwa untuk mendengar kritik dan memberikan jawaban yang solid atas pertanyaan para pemred. Pertemuan ini memperlihatkan pemerintah tidak antikritik dan membuka ruang kebebasan pers dan kebebasan berpendapat,” kata Wakil Ketua Umum PSI Andy Budiman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 9 April 2025.
Andy menegaskan sesi wawancara tersebut sekaligus membantah anggapan sejumlah pihak yang menyebut pemerintah antikritik, menekan kebebasan berpendapat, bahkan mematikan demokrasi. “Anggapan-anggapan tersebut dengan sendirinya terbantahkan dan tidak valid. Jadi, sekali lagi, PSI mengapresiasi Presiden Prabowo dan berharap tradisi baik seperti ini berlanjut,” kata dia.
Kata Pakar Komunikasi Politik soal Wawancara Prabowo
Adapun pakar komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, mengapresiasi sekaligus memberi masukan terhadap langkah Prabowo yang melakukan wawancara terbuka dengan media massa. Suko menilai sikap Prabowo mencerminkan keterbukaan dan kejujuran dalam menyampaikan informasi kepada publik. “Prabowo menunjukkan keinginan untuk bersikap jujur dan terbuka terhadap arus informasi. Beliau ingin memberikan penjelasan secara langsung dan sejujurnya," ujar Suko di Surabaya, Selasa.
Dia mengatakan cara dialogis seperti yang ditunjukkan Prabowo merupakan pendekatan komunikasi yang dikehendaki masyarakat, terutama warganet. Menurut dia, peristiwa itu bisa mengubah persepsi publik yang selama ini curiga Prabowo sulit berkomunikasi secara langsung. Seharusnya, kata dia, pemimpin daerah belajar dari model dialogis yang dilakukan Prabowo.
Karena itu, Suko mengatakan Prabowo perlu didukung tim komunikasi yang mumpuni untuk mendukung pola komunikasi terbuka tersebut. “Beliau tampil langsung tanpa naskah dan menjawab pertanyaan secara spontan. Itu menunjukkan Prabowo adalah sosok yang siap dikritik dan tidak anti terhadap masukan, bahkan yang paling pahit sekalipun,” ujarnya.
Suko menambahkan Prabowo memiliki gaya komunikasi yang cair dan dekat dengan siapa saja, termasuk media. Namun dia menekankan pentingnya peran pembantu di bidang komunikasi publik agar mampu menerjemahkan semangat transparansi itu dalam kebijakan dan strategi komunikasi yang efektif. “Tugas komunikasi publik bukan sekadar memanggungkan figur, melainkan menjelaskan kebijakan secara utuh dan jujur kepada publik,” katanya.
Dia menyarankan pemerintah rutin melakukan audit komunikasi publik untuk mengukur efektivitas dan memperbaiki pola komunikasi sesuai dengan perkembangan media sosial yang semakin dinamis.
Eka Yudha Saputra, Hendrik Yaputra, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Dugaan Pemerkosaan oleh Dokter Residen di RSHS Bandung, Ini Sikap Kemenkes dan Unpad