Mereka Desak Penghentian Program Dedi Mulyadi Kirim Anak ke Barak Militer

6 hours ago 2

KEBIJAKAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim anak yang dianggap nakal ke barak militer menuai kontroversi. Sejumlah kalangan mengkritik pendidikan di barak militer yang bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat sejak Kamis, 1 Mei 2025, tersebut.

Kebijakan Dedi itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/Kesra. Program ini menyasar peserta didik dengan perilaku khusus, seperti tawuran, merokok, mabuk, hingga penggunaan knalpot brong.

Dedi mengatakan program yang diberi nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan itu dilaksanakan di dua tempat, yaitu Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Markas Resimen Armed 1/Sthira Yudha/1 Kostrad Kabupaten Purwakarta. “Program ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan kedisiplinan pelajar,” kata Dedi saat meninjau pelaksanaan program tersebut di Purwakarta pada Sabtu, 3 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.

Selain mendapat sorotan dan kritik, sejumlah kalangan juga meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti hingga Presiden Prabowo Subianto menghentikan program pengiriman anak nakal ke barak militer tersebut.

FSGI Desak Abdul Mu’ti Hentikan Pengiriman Anak ke Barak

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak Mendikdasmen Abdul Mu’ti segera menghentikan program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer di Jawa Barat. FSGI menilai program yang digagas Dedi Mulyadi itu tidak memiliki dasar pedagogis dan psikologis yang jelas serta berpotensi melanggar hak anak.

“Program ini tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak ada kurikulum, silabus, atau modul ajar yang disiapkan. Ini menjadikan anak-anak seperti kelinci percobaan,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung dalam keterangan tertulis pada Senin, 19 Mei 2025.

Fahriza mengatakan hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap program ini semakin menegaskan lemahnya rancangan kebijakan itu. Beberapa temuan antara lain tidak adanya standar rekrutmen peserta, metode pembelajaran yang tidak seragam, pencampuran jenjang dan kelas dalam proses belajar, serta kegiatan fisik berlebihan yang membuat siswa kelelahan dan tidak fokus belajar.

“Pembina dalam program ini pun banyak yang tidak memahami prinsip perlindungan anak. Ini sangat membahayakan,” ujar Fahriza.

FSGI mendesak Kemendikdasmen memantau dan mengevaluasi segera pelaksanaan pendidikan bergaya militer itu. FSGI juga meminta Inspektorat Jenderal Kemendikdasmen mengaudit program itu dan memastikan hasilnya disampaikan secara transparan kepada publik.

Adapun Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib menyebutkan pendekatan pendidikan militer bukan satu-satunya cara membina siswa. “Selama ini ada banyak program sekolah seperti LDKS, Pramuka, UKS, PMR, yang bisa diperkuat. Kalau dianggap tidak berhasil, yang dievaluasi dulu programnya, bukan serta-merta dibawa ke barak militer,” kata Fahmi, yang juga Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Fahmi mengatakan pembinaan siswa mestinya dilakukan dengan pendekatan kolaboratif melibatkan berbagai instansi seperti Dinas PPPA, Dinas Sosial, BNN, dan Polri, dengan sekolah tetap menjadi pusatnya. Dia mencontohkan pendidikan di Sekolah Taruna Magelang yang kurikulumnya jelas dan penggemblengan fisik tetap dalam porsi terbatas oleh TNI.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengingatkan adanya Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan ini, kata dia, sudah mengamanatkan penanganan siswa bermasalah secara komprehensif dengan melibatkan instansi lintas sektor.

“Pemda seharusnya membangun program penguatan ketahanan keluarga dan menyediakan lebih banyak psikolog keluarga. Ini langkah yang lebih konstruktif ketimbang menyerahkan siswa ke barak militer,” ucap Retno.

Aliansi PKTA Minta Prabowo Hentikan Kebijakan Dedi Mulyadi

Sebelumnya, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) mendesak Presiden Prabowo menghentikan langkah Dedi Mulyadi mengirim siswa yang dianggap bermasalah ke barak militer. Alasannya, pendidikan disiplin ala militer bukan untuk anak.

Aliansi meminta Prabowo menginstruksikan jajaran pemerintah pusat dan daerah mengambil langkah ramah anak dalam mengatasi permasalahan siswa yang berperilaku menyimpang.

“Praktik mengirimkan siswa bermasalah ke barak TNI untuk pendisiplinan semacam ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam hukum nasional dan internasional,” tutur Aliansi PKTA, dikutip dari keterangan resmi pada Ahad, 4 Mei 2025.

Intervensi terhadap anak, kata aliansi ini, semestinya memperhatikan faktor penyebab sikap antisosial yang cenderung kompleks. Perbuatan menyimpang anak tidak serta merta merupakan keputusan yang diambilnya sendiri, melainkan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keluarga, pendidikan, lingkungan, hingga teman sebaya.

Lebih jauh aliansi ini mengatakan, bercermin dari fenomena panjang kekerasan aparat, maka pendisiplinan anak di barak seharusnya tidak dilakukan. Mereka menyinggung catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) yang menyatakan pada periode Oktober 2023 sampai dengan September 2024 terdapat 64 peristiwa kekerasan TNI terhadap warga sipil.

Dari jumlah kekerasan tersebut, beberapa korban jiwa merupakan anak di bawah umur. Salah satunya, kasus anak berinisial MHS yang tewas usai dianiaya anggota TNI di lokasi kejadian tawuran. Catatan kekerasan ini, kata koalisi, menunjukkan sikap aparat TNI yang cenderung mengedepankan kekerasan atau kekuatan berlebih.

“Corak militeristik yang demikian justru sangat berpotensi mengancam kebebasan anak sehingga anak akan belajar dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak, bahkan tidak juga menjawab akar persoalan penyebab anak berperilaku menyimpang,” tutur mereka.

Aliansi menilai penempatan anak di barak justru akan melabelisasi anak sebagai anak nakal. “Ini sangat berbahaya karena akan menimbulkan stigma negatif terhadap anak,” kata Aliansi PKTA.

Menurut aliansi, solusi yang tepat terletak pada pengembalian anak kepada orang tua, lingkungan, dan pendidikan sebagai elemen yang memegang tanggung jawab atas anak. Kemudian penguatan, pembenahan, dan perlindungan dengan menjunjung kepentingan anak juga harus dikedepankan agar anak dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan yang suportif dan positif.

Dede Leni Mardianti, Dinda Shabrina, Ervana Trikarinaputri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Ragam Reaksi atas Operasi Pemberantasan Premanisme

Read Entire Article
Parenting |