Reformasi 1998: Kerusuhan Mei 1998 dan Runtuhnya Kekuasaan Soeharto

4 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Dinamika sosial dan politik di Tanah Air menggebu pada era pengujung 1990-an buntut krisis moneter dan runtuhnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Puncaknya terjadi pada pertengahan Mei 1998, rangkaian peristiwa kerusuhan pecah dan mencatatkan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Walau Reformasi 1998 terwujud seiring runtuhnya Orde Baru, menuju tatanan pemerintahan yang anyar menelan “harga” mahal.

Rangkaian kerusuhan yang menandai awal jatuhnya kepemimpinan Presiden Kedua RI Soeharto itu bermula dari Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Sehari setelahnya, 13 Mei sampai 15 Mei menyusul peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lainnya. Dalam catatan sejarah Indonesia, peristiwa ini diabadikan dengan nama Kerusuhan Mei 1998.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, dalam kurun tiga hari di tengah Mei yang bergejolak, kerusuhan seperti api yang menjalar. Percikan pertama meletup di Jakarta dan menyebar di kota-kota lain seperti Medan, Palembang, Solo, dan Surabaya. Demonstrasi menuntut reformasi berubah jadi aksi rasial. Korbannya adalah etnis Tionghoa. Orang-orang Cina dianggap menjadi musabab krisis ekonomi lantaran terlihat makmur di kala pribumi dilanda paceklik.

Tudingan negatif terhadap orang Tionghoa, berdasarkan temuan Koordinator Investigasi dan Pendataan Tim Relawan Sri Palupi, telah menguar seiring berkembangnya sentimen anti-Tionghoa di era Orde Baru. Di era krisis moneter itu, orang Cina didesuskan melarikan uang ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako sehingga rakyat Indonesia kelaparan dan sengsara.

Kecemburuan sosial itu tersulut dalam kerusuhan melalui aksi penjarahan di berbagai wilayah. Toko-toko dan properti milik orang Cina digasak, dihancurkan, dan dihanguskan. Kejadian ini tak sedikit memakan korban jiwa. Amuk massa itu membuat para pemilik toko ketakutan dan memberikan keterangan di depan toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi”.

Lebih dari itu, pelanggaran HAM berat terhadap wanita Tionghoa juga terjadi. Mereka menjadi korban kekerasan seksual, dianiaya dan dibunuh. Perbuatan biadab itu dilakukan dengan cara gang rape, di mana korban dilecehkan secara seksual ramai-ramai dan bergantian dalam waktu bersamaan. Ironisnya, selain dilakukan di rumah korban, pelecehan seksual juga dilakukan di tempat-tempat umum, tidak peduli bahkan di depan orang lain.

Seorang Aktivis Relawan, Ita F. Nadia menganalisis alasan wanita Tionghoa ditargetkan sebagai sasaran utama Kerusuhan Mei 1998 adalah karena mereka lemah dan tidak dapat memberikan perlawanan.

Kejadian tersebut menyisakan bekas trauma psikis yang amat berat bagi korban yang masih hidup, beberapa di antaranya bahkan memiliki mengakhiri hidup karena tidak sanggup menanggung beban trauma, ada yang menjadi gila, diusir oleh keluarga, serta menghilangkan diri keluar negeri dengan mengganti identitas. Total korban tewas adalah sekitar 1.188 orang, dan setidaknya 85 wanita dilaporkan mengalami pelecehan seksual.

Saat pecahnya peristiwa itu, Soeharto diketahui tengah berada di Kairo, Mesir. Gejolak di Tanah Air memaksanya pulang. Ia tiba di Indonesia pada 15 Mei. Sesampainya di Jakarta, Soeharto memanggil wakilnya, B.J. Habibie, dan Panglima ABRI Wiranto serta Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin untuk mengevaluasi situasi. Kala itu, saat di Kairo, Soeharto disebut bersedia mengundurkan diri. Tapi pernyataan itu dibantahnya dalam pertemuan tersebut.

Usai kerusuhan, atmosfer Jakarta semakin mencekam. Pada 16 Mei 1998, warga asing secara massal pulang ke negara mereka dan berusaha secepat mungkin meninggalkan Jakarta, menyebabkan bandara penuh sesak. Soeharto kembali memanggil Wiranto bersama KSAD Jenderal Subagyo dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid. Soeharto menginstruksikan untuk membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib.

Kemudian pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan delegasi mendatangi gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi agar Soeharto mundur dari jabatan presiden, mereka menyebut diri sebagai delegasi Gerakan Reformasi Nasional. Di depan massa, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi sejumlah wakilnya mengadakan siaran pers. Harmoko menyampaikan bahwa dirinya dan juga jajaran DPR lainnya juga menghendaki serta menyarankan agar Soeharto mengundurkan diri.

Mendengar kabar itu, pada 19 Mei 1998, Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam. Di antaranya Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Pertemuan berlangsung selama dua jam lebih.

Para tokoh agama ini menyampaikan bahwa rakyat Indonesia tetap menginginkan Soeharto mundur. Namun Soeharto bersikukuh dirinya bisa mengatasi keadaan. Ia menolak mundur dan mengusulkan pembentukan Komite Reformasi membentuk kabinet baru.

Keesokan harinya, 20 Mei 1998, para menteri di bidang Ekuin melakukan pertemuan di Gedung Bappenas sekira pukul 14.30 WIB. Akhirnya diambil keputusan bahwa mereka sepakat tidak bersedia menjabat dalam Kabinet Reformasi ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Awalnya keputusan itu akan disampaikan secara lisan kepada Soeharto, namun niatan dibatalkan dan disampaikan lewat sepucuk surat. Pukul 20.00, lewat Kolonel Sumardjono surat itu disampaikan kepada Soeharto.

Menerima surat tersebut, Soeharto langsung masuk ke kamar untuk membacanya. Mendapati isi surat tersebut, Presiden Soeharto merasa terpukul dan ditinggalkan. Terlebih, dari 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat keputusan tidak bersedia menjadi menteri Kabinet Reformasi ataupun reshuffle Kabinet Reformasi itu, di antaranya adalah “orang-orang yang diselamatkan” oleh Soeharto. Soeharto tak pernah menduga akan “dikhianati” oleh orang-orangnya.

Adik Soeharto, Probosutedjo mengungkapkan, malam itu Soeharto tampak gugup dan bimbang. “Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden,” ujar Probosutedjo. Adik Soeharto ini menggambarkan suasana di kediaman Soeharto malam itu terasa tegang, semua anak-anak Soeharto berkumpul di sana.

“Saya berusaha memberikan informasi terkini, tentang tuntutan dan permintaan yang terjadi di DPR, informasi bahwa akan ada orang-orang yang bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri,” ujar Probosutedjo.

Malam itu, Soeharto kemudian melakukan pertemuan dengan tiga mantan Wakil Presiden: Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno. Selanjutnya pukul 23.00 WIB, Soeharto memanggil juru tulisnya Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Wiranto melalui ajudannya. Soeharto menyampaikan bahwa dirinya sudah bertekad dan bulat hati memandatkan kekuasaan kepresidenan kepada wakilnya, B.J. Habibie.

Setelah Wiranto menyepakati keputusan Soeharto, Soeharto lantas memanggil B.J. Habibie. Dua puluh menit setelah melakukan perbincangan dengan Soeharto, pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra kemudian menemui Amien Rais dan menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatan. Amien Rais mengatakan “The old man most probably has resigned”.

Kemudian pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden yang telah dipangkunya selama 32 tahun. Peristiwa Soeharto lengser tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Peringatan Reformasi. Pidato terakhir Soeharto sebagai presiden itu diabadikan dalam buku ‘Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi’ yang ditulis Habibie pada 2006,

“Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003,” kata Soeharto dalam pidatonya.

Dilansir dari Antara, spontan para mahasiswa yang telah beberapa hari menduduki Gedung MPR/DPR RI di Senayan, bersorak riang gembira. Sebagian dari mereka bahkan menceburkan diri ke dalam kolam menyambut euforia reformasi atas lengsernya rezim Orde Baru. Tahta The Smiling General yang bercokol selama 32 tahun runtuh disambut gegap gempita rakyat.

Usai mundur, Soeharto menunjuk wakilnya, BJ Habibie sebagai pengganti. Habibie kemudian melakukan sejumlah perombakan di bidang militer. Pada 22 Mei 1998 pukul 06.10, Habibie memutuskan Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjabat sebagai Menhankam/Pangab. Habibie juga melengserkan Prabowo Subianto yang saat itu menjabat Pangkostrad.

“Orang-orang” Soeharto perlahan disingkirkan di era reformasi. Enam agenda awal reformasi salah satunya adalah mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka kemudian diam-diam menyingkir ke luar negeri. Tujuan langsungnya adalah Singapura, di mana beberapa tinggal secara permanen. Sementara yang lain pindah ke Australia, AS, dan Kanada. Banyak dari mereka kembali ketika situasi politik stabil beberapa tahun kemudian.

Dilansir dari majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto, Senin 4 Februari 2008, setelah lengser sebagai Presiden, Soeharto lebih sering mengurung diri di Cendana. Dia enggan bertemu meski petinggi militer dan kerabat berusaha bertamu. Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno, Anyer, Banten, pada Juli 1998. Usai makan di pinggir pantai, Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya menerima kondisi pahit dan berusaha tabah melaluinya.

“Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat,” kata Soeharto.

Read Entire Article
Parenting |