ringkasan
- Kurikulum budi pekerti efektif mencegah perundungan dengan menanamkan nilai empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial pada siswa.
- Kasus perundungan anak di Indonesia menunjukkan tren peningkatan signifikan, dengan ribuan korban dan berbagai jenis serta faktor pemicu yang kompleks.
- Pencegahan perundungan memerlukan peran aktif semua pihak, didukung implementasi kurikulum berbasis karakter dan penegakan aturan tegas di lingkungan sekolah.
Fimela.com, Jakarta Perundungan atau bullying di lingkungan sekolah masih menjadi bayang-bayang kelam yang menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Kasus-kasus yang terus bermunculan menunjukkan urgensi untuk menemukan solusi yang efektif dan berkelanjutan. Sahabat Fimela, fenomena ini tidak hanya merusak fisik, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi para korban.
Berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), terus menyoroti peningkatan angka perundungan yang mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan ribuan anak menjadi korban, menandakan bahwa upaya pencegahan yang ada belum sepenuhnya optimal. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dan fundamental dalam mengatasi masalah serius ini.
Salah satu harapan besar muncul dari implementasi kurikulum budi pekerti atau pendidikan karakter yang dinilai memiliki potensi besar. Pendekatan ini diharapkan mampu membentuk moral dan perilaku siswa sejak dini, sehingga dapat secara signifikan Cegah Bullying pada Anak dengan Sekolah Kurikulum Budi Pekerti dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan nyaman bagi semua.
Peran Kurikulum Budi Pekerti dalam Membentuk Karakter Anti-Perundungan
Pendidikan karakter, yang sering disebut sebagai budi pekerti, memegang peranan krusial dalam membentuk moral dan perilaku siswa. Melalui penanaman nilai-nilai luhur seperti empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial, siswa diharapkan menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain. Pendekatan ini bertujuan menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan inklusif, secara efektif mencegah terjadinya perundungan.
Sekolah yang mengimplementasikan pendidikan budi pekerti mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan dan bersikap sopan. Mereka dididik untuk tidak menyakiti perasaan orang lain, baik secara fisik maupun verbal, sejak usia dini. Anak yang memiliki rasa empati tidak akan mengejek teman yang berbeda atau mengalami kesulitan, melainkan akan cenderung membantu dan mendukung.
Lebih dari itu, pendidikan budi pekerti mendorong siswa untuk saling membantu dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi semua. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam proses belajar mengajar, diharapkan dapat terbentuk individu yang menghargai keberagaman. Ini merupakan fondasi kuat untuk menghindari perilaku kekerasan dan diskriminasi di sekolah.
Tren Mengkhawatirkan dan Kendala Pencegahan Perundungan
Meskipun potensi kurikulum budi pekerti sangat besar, implementasinya dalam pencegahan perundungan tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satu faktor penyebab utama perundungan adalah kurangnya pendidikan karakter yang mendalam di sekolah. Selain itu, rendahnya pengawasan dari pihak sekolah terhadap perilaku perundungan juga menjadi pemicu serius.
Kurangnya penegakan aturan serta sanksi yang tegas terhadap pelaku perundungan turut memperparah masalah ini. Psikolog anak, Kak Seto Mulyadi, bahkan mencatat bahwa terkadang orang tua turut serta dalam pembiaran perilaku perundungan. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana korban seringkali merasa tidak terlindungi dan pelaku merasa tidak ada konsekuensi.
Data kasus perundungan di Indonesia menunjukkan tren yang sangat mengkhawatirkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menemukan 16.720 kasus perundungan di sekolah pada tahun 2023. Data Komnas PA per Februari 2025 bahkan menunjukkan 21.000 anak menjadi korban perundungan fisik dan psikis, dari hasil sosialisasi dan edukasi yang mereka lakukan. Ini adalah angka yang sangat tinggi dan memerlukan perhatian serius.
Jenis perundungan yang paling sering ditemukan meliputi fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis/sosial (15,2%). Perundungan juga terjadi di berbagai jenjang pendidikan, dengan SD (26%), SMP (25%), dan SMA (18,75%) menjadi yang terbanyak. Mayoritas pelaku dan korban didominasi siswa laki-laki, dan kasus ini banyak terjadi di sekolah di bawah Kemendikbud Ristek (80%) serta Kementerian Agama (20%).
-
Jenis-jenis Perundungan:
- Fisik: Memukul, menendang, mencubit (55,5% kasus).
- Verbal: Mengejek, menghina, julukan merendahkan (29,3% kasus).
- Psikologis/Sosial: Mempermalukan, menyebarkan rumor, mengucilkan (15,2% kasus).
- Siber (Cyberbullying): Melalui media elektronik.
- Seksual: Pelecehan verbal maupun fisik.
-
Faktor Pemicu Perundungan:
- Balas dendam atau trauma masa kecil.
- Lingkungan keluarga tidak harmonis atau kurang kasih sayang.
- Kurangnya pengawasan dan penegakan aturan di sekolah.
- Pengaruh kelompok sebaya atau senioritas.
- Mencari perhatian atau pengaruh media massa.
- Ketidakmampuan menerima perbedaan ras, suku, atau agama.
Peran Bersama dan Implementasi Kurikulum Berbasis Karakter
Pencegahan perundungan di sekolah memerlukan peran aktif dari seluruh elemen masyarakat. Penting bagi siswa untuk menumbuhkan sikap saling menghormati dan peduli antar individu maupun kelompok. Dengan demikian, lingkungan sekolah akan menjadi tempat yang inklusif dan bebas dari intimidasi. Semua pihak memiliki tanggung jawab untuk mencegah perundungan.
Guru dan orang tua, misalnya, memiliki peran vital dalam memberikan teladan yang baik serta melakukan pengawasan ketat. Mereka juga harus memberikan teguran yang tepat kepada pelaku perundungan agar memahami kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya. Kak Seto Mulyadi menegaskan pentingnya sekolah menciptakan lingkungan ramah anak dengan larangan tegas terhadap kekerasan dan kampanye persahabatan.
Beberapa sekolah di Indonesia telah mengimplementasikan kurikulum budi pekerti untuk membentuk karakter anak sejak dini. Sekolah Terpadu Pahoa, misalnya, menggunakan kurikulum Pearson Edexcel dan nasional dengan pembelajaran budi pekerti intensif. Pendidikan budi pekerti di Pahoa mengacu pada ajaran Konfusius yang universal, menitikberatkan pada pembentukan kepribadian mulia, komunikasi, dan berpikir kritis.
Sekolah Islam Al Azhar Summarecon juga berfokus pada pembentukan karakter anak melalui nilai-nilai keislaman. Sementara itu, Sekolah Terpadu Sedaya Bintang di Summarecon Bandung akan mengimplementasikan kurikulum dengan tiga pilar utama: pendidikan Budi Pekerti berlandaskan Pancasila dan ajaran Konfusius, program Trilingual, serta penerapan STEAM. Kurikulum ini mengadopsi konsep Holistic Education.
Selain itu, Kementerian Agama RI juga meluncurkan "Kurikulum Berbasis Cinta" yang berfokus pada pembentukan karakter dan menumbuhkan nilai-nilai positif. Kurikulum ini bertujuan menciptakan generasi yang cerdas secara intelektual, kaya moral, dan spiritual, serta mencegah perundungan. Dengan digencarkannya sosialisasi pencegahan perundungan, diharapkan kesadaran seluruh elemen masyarakat dapat meningkat. Ini adalah langkah penting menuju terciptanya sekolah yang aman dan nyaman bagi setiap siswa.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.